khutbah jum'at
Khutbah Jum’at
MENGAKHLAQKAN CARAPANDANG POSITIF
Oleh Saiful AmienJama’ah Jum’ah rahimakumullah..
Saya ingin mengawali renungan kita kali ini dengan mengingatkan pada
salah satu kisah kehidupan yang mungkin banyak tercecer di depan mata kita.
Cerita ini tentang seorang kakek yang sederhana, hidup sebagai orang kampung
yang bersahaja. Suatu sore, ia mendapati pohon pepaya di depan rumahnya telah
berbuah. Walaupun hanya dua buah namun telah menguning dan siap dipanen. Ia
berencana memetik buah itu di keesokan hari. Namun, tatkala pagi tiba, ia
mendapati satu buah pepayanya hilang dicuri orang.
Kakek itu begitu bersedih,
hingga istrinya merasa heran. “masak hanya karena sebuah pepaya saja engkau
demikian murung” ujar sang istri.
“bukan itu yang aku sedihkan”
jawab sang kakek, “aku kepikiran, betapa sulitnya orang itu mengambil pepaya
kita. Ia harus sembunyi-sembunyi di tengah malam agar tidak ketahuan orang.
Belum lagi mesti memanjatnya dengan susah payah untuk bisa memetiknya..”
“dari itu Bune” lanjut sang
kakek, “saya akan pinjam tangga dan saya taruh di bawah pohon pepaya kita,
mudah-mudahan ia datang kembali malam ini dan tidak akan kesulitan lagi
mengambil yang satunya”.
Namun saat pagi kembali hadir,
ia mendapati pepaya yang tinggal sebuah itu tetap ada beserta tangganya tanpa
bergeser sedikitpun. Ia mencoba bersabar, dan berharap pencuri itu akan muncul
lagi di malam ini. Namun di pagi berikutnya, tetap saja buah pepaya itu masih
di tempatnya.
Di sore harinya, sang kakek
kedatangan seorang tamu yang menenteng duah buah pepaya besar di tangannya. Ia
belum pernah mengenal si tamu tersebut. Singkat cerita, setelah berbincang
lama, saat hendak pamitan tamu itu dengan amat menyesal mengaku bahwa ialah
yang telah mencuri pepayanya.
“Sebenarnya” kata sang tamu, “di
malam berikutnya saya ingin mencuri buah pepaya yang tersisa. Namun saat saya
menemukan ada tangga di sana, saya tersadarkan dan sejak itu saya bertekad
untuk tidak mencuri lagi. Untuk itu, saya kembalikan pepaya Anda dan untuk
menebus kesalahan saya, saya hadiahkan pepaya yang baru saya beli di pasar
untuk Anda”.
Jama’ah Jum’ah yang
dirahmati Allah..
Kisah di atas mungkin begitu
sederhana sebagaimana tokoh protagonisnya yang juga bersahaja. Namun ada ibroh
yang bisa kita pelajari darinya, yaitu tentang keikhlasan, kesabaran, kebajikan
dan cara pandang positif terhadap kehidupan. Yang terakhir itulah yang hendak
kita jadikan topik renungan kita kali ini.
Saudara-saudara yang
dimuliakan Allah SWT,
Mampukah kita tetap bersikap
positif saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas mencari
sisi baiknya serta melupakan sakitnya suatu “musibah”?
Kebanyakan dari kita mungkin
belum bisa. Karena memang kecenderungan manusia dalam mencinta, lupa bahwa apa
yang disenanginya hanyalah titipan semata, yang setiap saat bisa diambil kapan
saja. Allah menyiratkan itu dalam QS. Al-Adiyat [100]:6-8:
إِنَّ الْإِنسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ. وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ
لَشَهِيدٌ. وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ.
sesungguhnya manusia
itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya
manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat
bakhil karena cintanya kepada harta.
Atau barangkali ada di
antara kita yang telah mampu bersikap positif saat didera musibah, namun bisa
jadi itu bersifat sementara. Hari ini kita mungkin bisa tabah mengikhlaskannya,
namun esok hari belum tentu bisa begitu karena suasana hati yang tidak menentu.
Kalau demikian, berarti cara pandang positif belum menjadi akhlaq kita. Karena
sesuatu dikatakan telah mengakhlaq di dalam diri manakala itu telah
mendarahdaging, di mana geraknya bersifat substantif, tidak insidentil. Ia akan
berpikir dan bertindak positif kapanpun, dimanapun, sendirian maupun bersama
siapapun.
Karena itu, orang-orang yang
telah memiliki carapandang positif sebagai akhlaqnya bisa dikatakan sebagai
orang-orang yang telah memetik buah dari pohon keimanan dan keberislaman. Ya,
karena akhlaq positive thinking tidaklah mungkin bisa terbangun kalau
tidak karena dasar aqidah yang kokoh dan keberserahan diri yang total kepada
Allah SWT.
Jama’ah Jum’at yang selalu
berharap ridha Allah…
Aqidah atau sistem keyakinan tauhid
dalam Islam biasanya dikenali unsur-unsurnya, paling tidak, dalam 3 konsep
utama yang tak terpisahkan:
1) Tauhid Rububiyah,
satu unsur keyakinan dimana kita mengesakan Allah sebagai Rabb. Tuhan
yang menciptakan dan maha mengatur alam semesta. Tiada apapun yang keluar dari
takdir ilahi, bahkan daun yang berguguran dari pohonpun Allah yang mengaturnya.
Sebagaimana firman suci-Nya:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا
وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي
كِتَابٍ مُّبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz) (QS. Al-An`am [6]:59).
2) Tauhid Mulkiyah, satu keyakinan dimana kita
mengesakan Allah sebagai Malik, satu-satunya Raja Diraja yang maha memiliki dan
maha menguasai alam semesta. Dialah Pemilik segalanya. Apapun yang ada di alam
ini ataupun yang ada pada diri kita, Dialah Pemilik Hakikinya. Sebagaimana
Allah berfirman:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
Tiadakah kamu mengetahui
bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain
Allah seorang pelindung maupun seorang penolong
(QS. Al-Baqoroh [2]:107)
Di banyak ayat yang lain, Allah menegaskan kembali tentang
itu, di antaranya:
لِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu (QS. Al-Maidah [5]: 120).
3) Tauhid Uluhiyah, satu keyakinan dimana kita
mengesakan Allah sebagai Ilah. Yaitu satu-satunya al-Ma’bud,
yang disembah, diibadahi, dicinta, diagungkan, dita’ati, dan dipatuhi. Hanya
kepada-Nya semata kita berserah diri, mengorban-kan diri, menambatkan setiap
asa, harap dan doa kita, serta hanya kepada-Nya semata kita memohon
pertolongan. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّنِي أَنَا
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah
salat untuk mengingat Aku (QS. Thaha [20]:14)
Saudara-saudara yang dirahmati Allah SWT,
Berdasar sistem keyakinan
itulah, orang-orang yang berpandangan positif sebagai akhlaqnya memiliki sikap
yang terbaik terhadap setiap kejadian, walaupun pada apa yang kita
menganggapnya sebagai musibah atau kesialan. Mereka tidak memiliki
perbendaharan bahasa seperti sial, celaka, kehilangan, bencana dan sejenisnya,
karena mereka selalu bisa melihat hikmah atau sisi baik di balik setiap
peristiwa. Sehingga, pikiran dan perasaan mereka selalu mendisposisikan untuk
berucap dan bertindak mulia dalam bingkai keyakinan sepenuhnya bahwa Allah
dengan Rahman Rahimnya tidaklah menciptakan segala sesuatu dalam kebatilan atau
kesia-siaan, sebagaimana ucapan Ulul Albab yang diabadikan dalam al-Qur`an:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ
جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَآ مَا
خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali
Imran [3]: 191).
Dari itu, mereka berserah diri sepenuhnya bahwa Yang Maha
Wadud, Allah SWT tidaklah mungkin akan mentakdirkan yang buruk bagi alam
semesta, apalagi manusia. Ungkapan kesialan dan bencana jangan-jangan merupakan
ekspresi dari ketidakmampuan kita dalam melihat sisi baik dari setiap ciptaan Tuhan
yang Maha Kuasa.
Orang yang memiliki carapandang
positif sebagai akhlaqnya senantiasa bisa melihat pelita dalam kegelapan. Mampu
bersikap adil dalam setiap kejadian. Tidak sombong dan lupa daratan ketika
terdudukkan dalam kenikmatan, sebaliknya juga tidak pesimis dan putus-asa dari
nikmat Tuhan bahkan selalu memiliki harapan ketika berada dalam “kebangkrutan”.
Sehingga mereka itulah orang-orang yang bisa jadi dalam hidupnya pernah
terjatuh sepuluhkali namun tetap mampu bangkit sebelaskali.
Demikianlah kehebatan
orang-orang yang memiliki akhlaq carapandang positif. Semoga kita mampu belajar
untuk bisa memiliki akhlaq tersebut, amin ya Rabbal alamin..
-o0o-
Khutbah 2:
Jama’ah Jum’ah yang
dirahmati Allah SWT,
Memiliki akhlaq carapandang
positif, bukanlah suatu kebetulan atau tiba-tiba. Tetapi melalui satu proses
belajar yang awalnya disengaja. Ada yang mengatakan process of learning
ini sebagai prinsip belajar “tanam-tuai”. System keyakinan Tauhid yang kita
miliki tidak boleh berhenti sebagai pemahaman kognitif semata, haruslah kita
tanam (ejahwantahkan, praktikkan) dalam setiap perbuatan sehingga kita bisa
memanennya sebagai “kebiasaan”. Kebiasaan baik ini haruslah kita tanam terus
hingga kita bisa menuainya sebagai “karakter”. Saat itulah, carapandang positif
ini telah mendarahdaging, menjadi akhlaq kita. Semoga kita termasuk hamba Allah
yang diberikan kemudahan dan inayah-Nya dalam menanam-tuai akhlaq baik ini. Amien
ya Rabbal Alamin…
Komentar
Posting Komentar